Selasa, 28 Desember 2010

Natal [Late Post]


Note
Lajnah: lembaga/komisi
Ikhtilaf: berbeda pendapat
Tahni-ah: ucapan selamat, ucapan turut berbahagia, dll
‘Izzah: kemuliaan

Sebenarnya beda kaum Nasrani dan Muslim tidaklah banyak. Nasrani mengimani Musa dan Isa, Muslimpun begitu. Jika Nasrani tambahkan satu nama, Muhammad, maka tak kan berbeda antara Nasrani dan Muslim. Nasrani mengimani Taurat, Zabur, dan Injil, Muslimpun juga mengimani. Jika Nasrani tambahkan satu kitab, Al-Quran, maka sungguh Nasrani dan Muslim tak terpisahkan. Sungguh kerahiban jadikan Nasrani lembut hati dan dekat pada kami, sementara Yahudi dan musyrik musuh terkeras kita (QS 5 : 82). Bagaimanapun, selama kita tak saling memerangi dalam hal keimanan, tak terlarang bagi kita untuk saling berbuat kebaikan (QS Al-Mumtahnnah : 8).

Karena itulah kita mencari titik singgung iman demi kebersamaan, itulah pengakuan ke-Ilahi-an Allah tanpa persekutuan. Namum kami (muslim) insyafi sepenuhnya, keyakinan yang kita pegang tak bisa dipaksakan. Kami hormati segala yang tak bisa dipertemukan (QS Al-Kafirun : 6).

Dalam perbedaan ini, ijinkan kami tetap mencintai Isa dan Maryam, meski kami tak bisa paksakan kalian takjubi Muhammad. Ijinkan juga kami untuk membaca dengan berkaca-kaca betapa indahnya Surah dalam Quran yang berjudul Maryam, Gadis tersuci sepanjang jaman. Ini sungguh bukti bahwa Allah, Nabi, dan Al-Quran kami begitu agung sebagaimana penciptaan Adam (QS 3 : 59). Termulialah Isa yang terlah berbicara dalam buaian Maryam. Salam sejahtera baginya di saat lahir, kelak diwafatkan, dan kelak dibangkitkan (QS 19 : 33).

Saudara Nasrani terkasih, kami mencintai Isa, Nabi, dan RasulNya. Ruh dan kalimat-Nya, yang di-tiuptumbuh-kan dalam rahim suci Maryam. Hari ini, kalian rayakanlah kelahiran Isa yang bagi kami 25 Desember agak membuat dahi kami berkerut. Sebab maryam, yang sungguh berat ujiannya itu, bersalin di saat kurma masak dan penuh tandannya. Kemungkinan itu Maret, bukan Desember. Maaf jika ini menyinggung hati, tapi sungguh telah ditulis para sejarawan bahwa 25 Desember itu hari kelahiran Janus dan Mitra, Dewa Matahari.

Sungguh, ingin kami syukuri juga kelahiran Sang Ulul ‘Azmi nan istimewa, Isa. Tapi hati kami tak nyaman dengan hari ini. Itulah awal-awal yang membuat kami berat hati ‘tuk ucapkan salam natal. Ini harinya Janus dan Mitra, bukan harinya Isa.

Tentu tradisi ribuan tahun dengan salju dan cemara, pohon sesembahan Eropa itu tak bisa kami paksakan untuk diubah seenaknya. Tinggal kini keinginan kami untuk membalas penghormatan yang telah kalian beri di Idul Fitri dan Idul adha, maka kami simak fatwa para ulama.

Sungguh agama ini memerintahkan untuk membalas tiap pemuliaan dengan penghargaan yang lebih baik, minimal senilainya (QS 4 : 86). Yang disepakati para ulama atas keharamannya adalah keterlibatan dalam segala hal yang bernilai ritual dan ibahnya (Fatwa MUI). Jika keterlibatan dalam kegiatan natal, yang bersifat ibadah dan ritual, disepakati keharamannya, maka para ulama ikhtilaf pada soal ucapan selamat.

Yang memubahkan selamat natal contohnya: Dr. Musthafa Az Zarqa dan Dr. Yusuf Al Qaradlawy, yang menyebut tahni-ah tak terkait dengan aqidah. Tahni-ah natal, bisa menjadi dakwah. Maka tahni-ah natal yang diikuti komunikasi intesif adalah indah. Dr. Abdussattar memberi catatan kemubahan tahni-ah natal ini. Doa menuju hidayah lebih dianjurkan.

Sedangkan Al Utsaimin, Lajnah Fatwa KSA, dll cenderung mengharamkan tahni-ah natal, sebab hal itu sama saja dengan meridhai aqidah keliru. Jadi ikhtilaf ulama terkait tahni-ah natal berada pada konteks pemaknaan kalimat tersebut.

Masing-masingnya lalu menemukan dalil. Ulama berfatwa sesuai konteks di sekitarnya, tentu ada perbedaan lingkungan sosial dan yang melatarbelakangi fatwa yang berbeda ini. Lajnah Fatwa KSA dan Al Utsaimin menjawab di negeri yang nyaris tanpa nasrani. Sedangkan Al Qaradlawy dan Az Zarqa berfatwa untuk masyarakat majemuk.

Lantas bagaimana kita bersikap atas beda fatwa tahni-ah natal? Menurut As-Syafii, keluar dari perselisihan itu adalah sunnah. Dengan jernih hati dan mengukur kapasitas diri, kita bisa mempertimbangkan kedua-duanya. Ada keadaan-keadaan tertentu yang perlu dicermati. Ikhtilaf ahli ilmu insya Allah menjadi kemudahan yang tak sekedar benar tetapi juga tepat dan cerdas.

Akan ada yang menjalankan fatwa Al Qaradlawy dan Az Zarqa, contoh di wilayah yang muslimnya minoritas, atau dalam keluarga yang majemuk. Akan ada pula yang menjalankan fatwa Al Utsaimin, jika dalam posisi memelihara izzah akidah. Karena (menurut Abu Hanifah) yang terpenting bukan mengamalkan pendapat kami atau tidak, tapi mengetahui bagaimana kami menetapkan pendapat tersebut.

Maka dengan ilmu yang memadai, mari beramal yang terbaik bagi iman kita pada Allah, bagi misi kita untuk jadi rahmat semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar