Ini adalah satu cerita menggelitik, namun penuh hikmah. Aku baru saja mendapatkannya di buku karangan
Zabrina A. Bakar, yang berjudul
Satu Tiket ke Surga
Kisah
seorang suami yang merasa istri tercintanya mengalami masalah serius yaitu ketulian.
Seringkali sang istri tidak menjawab ketika mereka sedang mengobrol. Untuk itu
sang suami memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter keluarga, bagaimana
cara menguji sang istri dengan cara yang paling halus. Karena sang suami tidak
ingin sang istri tersinggung dengan mengajaknya memeriksakan diri ke dokter.
Dokter menyarankan agar menguji dengan cara berbicara dengan nada normal pada
jarak 30 langkah. Jika tidak menjawab, mendekatlah perlahan sambil mengulang
pertanyaan yang sama.
OK, menurut sang suami cara itu
cukup halus untuk menguji. Sesampai di rumah, istrinya sedang memasak. Sang
suami mengira-ngira jarak 30 langkah yang dimaksud dokter. Ya, segini kurasa
cukup, 30 langkah. Dan sang suami bertanya “hari ini menu kita apa Sayang?”.
Tak ada jawaban, sang suami mendekat perlahan sambil terus mengulang pertanyaan
itu. Sampai pada jarak yang sangat dekat, sang suami berbisik di telinga sang
istri, masih dengan pertanyaan yang sama. Sang istri menoleh dan dengan agak
kesal menjawab “ya ampuuuuun, untuk kesepuluh kalinya, Sayaaaang. Aku masak
semur daging hari ini!”.
Aku terbahak pertama kali membaca
cerita ini. Sang suami merasa sang istri tuli, ternyata sebenarnya dialah yang
tuli. Dia begitu mudah menuduh sang istri, tanpa menganalisa terlebih dahulu
siapa sebenarnya yang bermasalah.
Bagaimana dengan kita? Apakah
kita pernah merasa bahwa “istri” kita “tuli”? Astaghfirullah... Ternyata aku
begitu sering mengira “istri”ku “tuli”. Sederhananya, begitu seringnya kita
menyalahkan orang lain atas kesalahan yang sesungguhnya bersumber dari diri
kita sendiri. Ketika suatu masalah tiba-tiba muncul, yang muncul dibenak kita
adalah “siapa”. Ya, siapa penyebabnya. Dan usaha untuk menemukan “siapa” nyaris
tak pernah gagal. Yang pasti sedikit sekali yang menemukan jawabannya berupa
“aku”. Mungkin sebaiknya kita perlu menyimak ini:
“Barangsiapa melakukan kesalahan atau berbuat
dosa, kemudian melontarkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka ia memikul
kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. An-Nisa 4:112)
Astagfirullah, ini peringatan yang
sangat menyentakku. Memikul kebohongan,
itu sesuatu yang membuatku bergidik. Dan memikul
dosa yang nyata, siapakah yang sanggup memikul dosa yang kita sendiri
sadari bahwa itu adalah dosa.
“ketika telunjuk kita mengarah pada orang
lain, maka empat jari yang lain mengarah pada diri kita sendiri”